S u r y a   P u t r a   C o m p u t a m a
Member Zone
User ID
Password
Belum Jadi Member..?
Daftar disini
World Of Science
Wisata ke :
Bromo,
Tengger,
Semeru.
Our World
Belajar Bahasa Assembly
Merakit Speaker Aktif
Membuat Animasi dengan Animation Shop
Al-jabar bagian ke-1
Hukum Newton bagian ke-1
Teory Genetika bagian ke-1
Hubungi kami bila ingin menggunakan space ini
Hubungi kami bila ingin menggunakan space ini
Hubungi kami bila ingin menggukan space ini
FREE SPACE

 

 

 

 

 

 

BROMO

 

 

 

 

 

 

  Siapkan baju hangat, penutup kepala, dan kaus tangan untuk menahan dingin! Begitu nasihat seorang rekan ketika saya mengungkapkan keinginan berkunjung ke kawasan pegunungan Bromo - Tengger - Semeru.  Betul juga, dinginnya angin gunung sudah terasa di badan ketika saya sampai di Desa Kunci (+ 600 m), kecamatan Tumpang + 20 km timur Malang . Inilah salah satu jalan menuju Taman Nasional Bromo - Tengger - Semeru. Jalan yang akan saya tempuh bukanlah jalan yang sudah dikenal, yakni langsung menuju G. Bromo lewat kota Probolinggo. Menurut kawan tadi jalan yang akan saya tempuh jauh lebih indah dan menantang. Rute ini biasanya dipakai oleh para pecinta alam untuk mencapai Ranupani, desa terakhir ke G. Semeru sejauh +45 km yang hanya bisa dilalui jip dengan penggerak empat roda.  Jip untuk melalui rute itu bisa disewa dari Herman yang bertempat tinggal di Kunci. Tak sulit menemukan tempat tinggalnya itu. Apalagi di depan rumahnya terlihat beberapa jip yang sedang dalam perbaikan. Agaknya ia satu-satunya  yang masih bertahan dengan usaha itu. "Dulu memang banyak, tapi banyak yang tutup lantaran terus merugi dan nggak bisa beli jip lagi," papar Herman.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  Di ruang tamu, pria setengah baya yang ramah ini bercerita banyak soal medan yang akan ditempuh dan juga suka-duka mengelola usaha persewaan armada jipnya. Begitu ongkos sewa disepakati Rp 150.000 ,- sekali jalan, Herman segera menyiapkan mobil, sopir, serta kernetnya sekaligus. Kali ini yang digunakan sebuah Toyota Canvas biru dengan bak terbuka di bagian belakang. Tempat duduk memang hanya ada di bagian depan, dengan atap terpal di atasnya. Dengan cekatan ia memeriksa sekilas kondisi mobil dan perlengkapannya. Ketika dilihatnya ban kiri depan agak gundul ia segera menggantinya.  Slenk (julukan untuk Suradi yang diberikan oleh para pecinta alam yang kerap menggunakan jasanya), sopir yang akan membawa saya, sudah siap. Ia cukup bersandal jepit dengan baju lengan panjang digulung dan penutup kepala untuk menahan hawa dingin. Tak lupa ia membawa perlengkapan standar cangkul, parang, dan rantai. Lha, untuk apa benda ini? Jalan yang berpasir basah sering membuat keempat roda tak dapat mencekeram dengan kuat. Ban bisa selip dan amblas ke dalam pasir. Dalam kondisi seperti ini pemberian pasir kering di bagian yang amblas sangat membantu. Di sinilah cangkul berperan untuk mengambil pasir di sisi kiri-kanan jalan. Sedang parang berguna memotong-motong pohon tumbang. "Saya pernah menginap dua hari di jalan untuk menyingkirkan pohon besar yang mengalangi jalan," papar Slenk. Lain lagi dengan rantai. Perlengkapan ini digunakan sebagai upaya terakhir dalam kondisi selip sementara usaha pemberian dengan pasir kering sudah tidak bisa mengatasi. Terpaksalah kedua ban belakang dipasang rantai dengan cara menyarungkan pada sekeliling ban. 

 

 

 

 

  Setelah satu setengah jam perjalanan saya sampai di Desa Ngadas, satu-satunya desa di lintasan ini. Siang itu penduduk yang mayoritas memeluk agama Hindu tengah duduk-duduk di depan rumah. Uniknya hampir semua berkerudung sarung. Agaknya sarung itu untuk melawan hawa dingin yang selalu menyelimuti daerah itu. Rumah-rumah permanen dengan jalanan yang diplester semen mencerminkan kehidupan mereka yang cukup sejahtera. Roda perekonomian ditopang oleh produksi kentang,  wortel, kol, dsb. yang ditanam di bukit-bukit sekitar desa.Beberapa kilometer melewati Desa Ngadas, jalanan berganti menjadi pasir halus yang mudah longsor. Pengemudi harus ekstra hati-hati di tempat ini apalagi jurang menganga di kedua sisi jalan. Pemandangan semakin elok. Di sisi kiri sejauh mata memandang nampak lembah hijau yang sangat luas. Dari atas laksana padang rumput berlatar belakang dua gunung hijau. Di tengah "padang rumput" itu terlihat dua garis meliuk-liuk. "Itu jalan ke arah G. Bromo," papar Slenk sambil menghentikan mobilnya untuk memberi kesempatan melihat-lihat pesona alam itu.

 

 

Bunga terompet dan lantana 

   Ketika mobil selesai diperiksa, saya diminta naik. Mula-mula saya lebih suka duduk di depan bersebelahan dengan sopir, tapi beberapa waktu kemudian Slenk menawarkan saya untuk beralih ke bak belakang. "Pemandangannya jauh lebih indah," katanya. Betul juga, sambil berdiri berpegangan pipa besi yang dipasang mengelilingi bak belakang saya bisa leluasa memandang ke segala arah.  Memasuki pintu gerbang kawasan Bromo - Tengger - Semeru, Desa Kunci yang berada di bawah bisa dilihat dengan jelas. Asri! Rumah-rumah berderet rapi di kiri-kanan jalan utama mengikuti kontur tanah yang naik-turun dengan kebun buah dan sayuran berada di belakang rumah. 

 

 

 

 

 

 

  Apel Rome Beauty nampak dibudidayakan di tepian jalan. Buahnya lebat, bergelantungan di ranting yang tingginya tak lebih dari 2 m. Warna buahnya khas, semburat merah muda di bagian yang terkena sinar matahari dan hijau di bagian yang teduh. Dengan bertambahnya ketinggian, komposisi tumbuhan pun berubah. Hutan hujan pegunungan dengan dominasi pohon pinus, Acacia, dan cemara gunung dengan tumbuhan penutup tanah bunga terompet dan lantana. Amat menawan!  Apalagi di awal musim hujan itu keduanya tengah berbunga. Bunga terompet  dengan warna putihnya yang khas dan lantana dengan paduan aneka warna. Mobil yang saya tumpangi terus merayap pelan, berpindah dari satu bukit ke bukit lain meniti bibir jurang. Sulit dibayangkan kalau berpapasan di jalan sesempit itu. Betul juga tak berapa lama muncul truk kecil yang dijubeli penumpang. Terpaksa salah satu mengalah, mundur mencari tempat yang sedikit lebar. Untungnya di lintasan ini solidaritas antarsopir amat tinggi. Mereka  tak memaksakan diri berpapasan bila tak memungkinkan, nyawa jadi taruhan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kerukunan beragama 

  Berhenti sementara untuk menikmati alam nampaknya akan sering dilakukan bila kita melewati jalur ini lantaran beragamnya objek yang bisa dilihat yang hampir semuanya mengundang decak kekaguman. Matahari sudah di atas ubun-ubun ketika saya sampai di Ranupani (+ 2.500 m). Dusun yang dihuni 1.030 jiwa ini merupakan persinggahan terakhir para pendaki sebelum naik ke G. Semeru. Dari sini puncak Mahameru, gunung tertinggi di P. Jawa bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama 6 jam. Sebagai tempat transit para pendaki, Ranupani menyimpan potensi keindahan alami dengan adanya danau atau ranu, yakni Ranu Pani dan Ranu Regulo. Saya segera saja mampir ke home stay dan warung milik Tasrip (65) yang berada   tepat di pinggir jalan desa. Di musim pendakian dan liburan (Mei - Oktober),  penginapan yang dilengkapi dengan warung ini tak pernah sepi dari turis  mancanegara. Masakan khas Jawa tersedia semisal soto, kare, rawon, dsb. Juga  minuman Coca Cola, Aqua, dsb. Warung Tasrip memasang harga wajar.  Sebotol Aqua 500 ml dijual Rp 750,-. Sedang sekaleng Coca Cola seharga Rp1.500,-.  Desa Ranupani bisa jadi contoh bagaimana serasinya hubungan antarpemeluk agama. Menurut Slenk toleransi beragama sangat tinggi. "Menyongsong peringatan salah satu agama, pemeluk agama lain dengan sukarela tak segan-segan berpartisipasi." Tak heran bila di desa yang kadang dilanda hujan es di musim kemarau ini terdapat 3 tempat ibadat: pura, masjid, dan gereja. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

SEMERU, BROMO, LEGENDA

 

 

 

  Untuk mengejar waktu saya segera berbalik menuju Bromo. Jalan ke arah padang rumput Bromo sepanjang 3 km itu kondisinya amat tidak layak dilewati. Menurun dengan batu-batu besar yang berserakan di tengah jalan. Menyerupai sungai kering. "Saya heran tak pernah ada papasan di sini, padahal pada masa liburan puluhan jip beroperasi," papar Slenk. Memang sulit dibayangkan kalau sampai berpapasan. Rasanya tak ada tempat untuk menepi. Mau coba-coba mundur ... mustahil! .

  Sesampai di lembah, baru ketahuan padang rumput yang kelihatan dari atas tadi ternyata berupa semak yang didominasi oleh tumbuhan paku, cemara gunung, dan rumput liar. Suasana sangat eksotis. Tak ada suara selain suara angin gunung yang bertiup kencang. Kendaraan terus melaju pelan meniti jalan berpasir lembut. Kendati mobil bisa dipacu sampai 30 km per jam, Slenk kerap melambatkan laju kendaraannya. Di tempat-tempat tertentu, Slenk harus merintis jalan sendiri karena jalan yang sudah terbentuk longsor terkena gerusan air. Pasir gunung beterbangan kemana-mana terkena laju kendaraan. Saya segera waspada dengan menutup muka serapat mungkin dengan penutup kepala dan kacamata Rayban. Mendekati kawasan G. Bromo padang rumput itu secara berangsur-angsur hilang digantikan oleh lautan pasir. Kalau malam bisa kesasar ,   Alur jalan pun menjadi tidak kentara. Bahkan bekas-bekas roda di pasir nampaknya sudah hilang tertutup oleh pasir yang tertiup angin. "Makanya kalau lewat sini harus siang, kalau sampai kemalaman bisa-bisa kita kesasar," papar Slenk yang mengaku sudah ratusan kali menjalani rute ini. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  Laut pasir ini merupakan ekosistem yang unik sebagai hasil letusan Gunung Tengger Purba. Kaldera seluas + 5.250 ha itu berbentuk lingkaran dengan garis tengah terpanjang 8 km dan terpendek 6 km. Dinding kaldera berketinggian antara 120 - 130m dengan kelerengan antara 60 - 80o. Di atas hamparan laut pasir itu terdapat beberapa gunung, yakni: G. Bromo (2.392 m), G.Batok (2.440 m), G. Kursi (2.581 m), G. Widodaren (2.614 m), dan G. Watangan (2.601 m).

  Setelah menempuh perjalanan sejak pukul 10.30 WIB dari Kunci saya akhirnya tiba di G. Bromo pada pukul 15.00 WIB. Pemilik penginapan tempat saya bermalam di Cemorolawang (desa terdekat dengan G. Bromo) menyarankan melihat kawasan Bromo dari G. Penanjakan saat matahari terbit keesokan harinya. Pukul 03.30 WIB saya sudah dibangunkan oleh pemilik losmen. Dengan berbekal baju hangat, penutup kepala, sarung tangan, dan sepatu berkaus kaki dobel untuk melawan hawa dingin saya menumpang jip yang akan membawa ke G. Penanjakan. Perjalanan ditempuh selama + 45 menit dengan menggunakan jip. nilah tempat paling strategis melihat kawasan G. Bromo dan sekitarnya dari ketinggian 2.700 m. Sebetulnya melihat matahari terbit di musim hujan itu bisa dibilang untung-untungan. Betul juga, tepat pada pukul 05.10 kendati matahari mulai muncul, sinarnya tertahan awan yang terus menggayut di atas Bromo. Toh ini tidak mengurangi keindahan gunung-gunung di kawasan Bromo yang mulai nampak di kejauhan. Keelokan ini tak berlangsung lama, kabut segera menyapu di atas Bromo. 

 

Lebih baik naik kuda 

  Saya segera turun untuk mendaki G. Bromo. Dari padang pasir di kaki gunung puncak Bromo nampak tak begitu tinggi. Tapi begitu saya mulai mendaki anggapan saya meleset. Baru beberapa saat melangkahkan kaki napas sudah ngos-ngosan dan jantung berdetak kencang.   Saya terpaksa sering berhenti. Menyesal rasanya menolak tawaran penarik kuda yang menawarkan jasa dengan ongkos Rp 7.500,- pulang-pergi. Setelah berusaha keras dan meniti 249 buah tangga sampailah saya di atas. Puas rasanya. Dari bibir kawah itu bisa dilihat pemandangan ke arah G. Bromo.  Asap beraroma belerang keluar dari lubang di dasarnya. Bila arah angin tiba-tiba berubah, arah asap dengan bau belerang juga berubah mengikuti arah angin. Saya harus waspada karena kalau sampai terhirup kontan akan batuk-batuk. Sampai kini, G. Bromo adalah gunung yang masih aktif dan secara teratur mengeluarkan asap. Jarak dari Cemorolawang ke G. Bromo +2,5 km. Suhu tahunan berkisar antara 3 - 18oC dengan kelembaban 42 - 97%. 

  Bagi masyarakat Tengger G. Bromo dipercaya sebagai gunung suci. Mereka yang percaya selalu menjaga tindak-tanduk di kawasan ini. "Siapa saja tak boleh berpikiran buruk, apalagi buang air kecil menghadap gunung, bisa kualat," ujar Yun warga Cemoralawang. Itulah sebabnya pada akhir Oktober atau November masyarakat Tengger di kawasan Bromo tak lupa mengadakan upacara Kasada. Dengan aneka sesajian mereka berdoa di pura yang ada di kaki Bromo. Usai dimantrai sesajian itu dilempar ke kawah sebagai tanda penyerahan pada Kusuma, putra ke-25 dari Lara Anteng dan Jaka Seger sebagai cikal bakal masyarakat Tengger.

  Kedekatan dengan G. Bromo ini membuat masyarakat Hindu di situ tak pernah gentar, pun tatkala gunung ini meletus beberapa tahun lalu. "Letusannya terdengar keras; jantung rasanya mau putus, tapi saya nggak takut dan malah ke sana untuk sesaji dan berdoa," tutur Yun. Terbukti, kawasan Bromo tak cuma menyimpan keindahan, tapi juga legenda. Inilah agaknya yang membuat eksotisme Taman Nasional Bromo - Tengger - Semeru layak ditengok.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Copyright © 2005 , Surya Putra Computama <==> Page Builder : Komarudin Surya