Siapkan baju hangat, penutup kepala, dan kaus tangan untuk menahan dingin! Begitu nasihat seorang rekan ketika saya mengungkapkan keinginan berkunjung ke kawasan pegunungan Bromo - Tengger - Semeru. Betul juga, dinginnya angin gunung sudah terasa di badan ketika saya sampai di Desa Kunci (+ 600 m), kecamatan Tumpang + 20 km timur Malang . Inilah salah satu jalan menuju Taman Nasional Bromo - Tengger - Semeru. Jalan yang akan saya tempuh bukanlah jalan yang sudah dikenal, yakni langsung menuju G. Bromo lewat kota Probolinggo. Menurut kawan tadi jalan yang akan saya tempuh jauh lebih indah dan menantang. Rute ini biasanya dipakai oleh para pecinta alam untuk mencapai Ranupani, desa terakhir ke G. Semeru sejauh +45 km yang hanya bisa dilalui jip dengan penggerak empat roda. Jip untuk melalui rute itu bisa disewa dari Herman yang bertempat tinggal di Kunci. Tak sulit menemukan tempat tinggalnya itu. Apalagi di depan rumahnya terlihat beberapa jip yang sedang dalam perbaikan. Agaknya ia satu-satunya yang masih bertahan dengan usaha itu. "Dulu memang banyak, tapi banyak yang tutup lantaran terus merugi dan nggak bisa beli jip lagi," papar Herman.
Bunga terompet dan lantana
Ketika mobil selesai diperiksa, saya diminta naik. Mula-mula saya lebih suka duduk di depan bersebelahan dengan sopir, tapi beberapa waktu kemudian Slenk menawarkan saya untuk beralih ke bak belakang. "Pemandangannya jauh lebih indah," katanya. Betul juga, sambil berdiri berpegangan pipa besi yang dipasang mengelilingi bak belakang saya bisa leluasa memandang ke segala arah. Memasuki pintu gerbang kawasan Bromo - Tengger - Semeru, Desa Kunci yang berada di bawah bisa dilihat dengan jelas. Asri! Rumah-rumah berderet rapi di kiri-kanan jalan utama mengikuti kontur tanah yang naik-turun dengan kebun buah dan sayuran berada di belakang rumah.
Kerukunan beragama
Berhenti sementara untuk menikmati alam nampaknya akan sering dilakukan bila kita melewati jalur ini lantaran beragamnya objek yang bisa dilihat yang hampir semuanya mengundang decak kekaguman. Matahari sudah di atas ubun-ubun ketika saya sampai di Ranupani (+ 2.500 m). Dusun yang dihuni 1.030 jiwa ini merupakan persinggahan terakhir para pendaki sebelum naik ke G. Semeru. Dari sini puncak Mahameru, gunung tertinggi di P. Jawa bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama 6 jam. Sebagai tempat transit para pendaki, Ranupani menyimpan potensi keindahan alami dengan adanya danau atau ranu, yakni Ranu Pani dan Ranu Regulo. Saya segera saja mampir ke home stay dan warung milik Tasrip (65) yang berada tepat di pinggir jalan desa. Di musim pendakian dan liburan (Mei - Oktober), penginapan yang dilengkapi dengan warung ini tak pernah sepi dari turis mancanegara. Masakan khas Jawa tersedia semisal soto, kare, rawon, dsb. Juga minuman Coca Cola, Aqua, dsb. Warung Tasrip memasang harga wajar. Sebotol Aqua 500 ml dijual Rp 750,-. Sedang sekaleng Coca Cola seharga Rp1.500,-. Desa Ranupani bisa jadi contoh bagaimana serasinya hubungan antarpemeluk agama. Menurut Slenk toleransi beragama sangat tinggi. "Menyongsong peringatan salah satu agama, pemeluk agama lain dengan sukarela tak segan-segan berpartisipasi." Tak heran bila di desa yang kadang dilanda hujan es di musim kemarau ini terdapat 3 tempat ibadat: pura, masjid, dan gereja.
Untuk mengejar waktu saya segera berbalik menuju Bromo. Jalan ke arah padang rumput Bromo sepanjang 3 km itu kondisinya amat tidak layak dilewati. Menurun dengan batu-batu besar yang berserakan di tengah jalan. Menyerupai sungai kering. "Saya heran tak pernah ada papasan di sini, padahal pada masa liburan puluhan jip beroperasi," papar Slenk. Memang sulit dibayangkan kalau sampai berpapasan. Rasanya tak ada tempat untuk menepi. Mau coba-coba mundur ... mustahil! .
Sesampai di lembah, baru ketahuan padang rumput yang kelihatan dari atas tadi ternyata berupa semak yang didominasi oleh tumbuhan paku, cemara gunung, dan rumput liar. Suasana sangat eksotis. Tak ada suara selain suara angin gunung yang bertiup kencang. Kendaraan terus melaju pelan meniti jalan berpasir lembut. Kendati mobil bisa dipacu sampai 30 km per jam, Slenk kerap melambatkan laju kendaraannya. Di tempat-tempat tertentu, Slenk harus merintis jalan sendiri karena jalan yang sudah terbentuk longsor terkena gerusan air. Pasir gunung beterbangan kemana-mana terkena laju kendaraan. Saya segera waspada dengan menutup muka serapat mungkin dengan penutup kepala dan kacamata Rayban. Mendekati kawasan G. Bromo padang rumput itu secara berangsur-angsur hilang digantikan oleh lautan pasir. Kalau malam bisa kesasar , Alur jalan pun menjadi tidak kentara. Bahkan bekas-bekas roda di pasir nampaknya sudah hilang tertutup oleh pasir yang tertiup angin. "Makanya kalau lewat sini harus siang, kalau sampai kemalaman bisa-bisa kita kesasar," papar Slenk yang mengaku sudah ratusan kali menjalani rute ini.
Laut pasir ini merupakan ekosistem yang unik sebagai hasil letusan Gunung Tengger Purba. Kaldera seluas + 5.250 ha itu berbentuk lingkaran dengan garis tengah terpanjang 8 km dan terpendek 6 km. Dinding kaldera berketinggian antara 120 - 130m dengan kelerengan antara 60 - 80o. Di atas hamparan laut pasir itu terdapat beberapa gunung, yakni: G. Bromo (2.392 m), G.Batok (2.440 m), G. Kursi (2.581 m), G. Widodaren (2.614 m), dan G. Watangan (2.601 m).
Setelah menempuh perjalanan sejak pukul 10.30 WIB dari Kunci saya akhirnya tiba di G. Bromo pada pukul 15.00 WIB. Pemilik penginapan tempat saya bermalam di Cemorolawang (desa terdekat dengan G. Bromo) menyarankan melihat kawasan Bromo dari G. Penanjakan saat matahari terbit keesokan harinya. Pukul 03.30 WIB saya sudah dibangunkan oleh pemilik losmen. Dengan berbekal baju hangat, penutup kepala, sarung tangan, dan sepatu berkaus kaki dobel untuk melawan hawa dingin saya menumpang jip yang akan membawa ke G. Penanjakan. Perjalanan ditempuh selama + 45 menit dengan menggunakan jip. nilah tempat paling strategis melihat kawasan G. Bromo dan sekitarnya dari ketinggian 2.700 m. Sebetulnya melihat matahari terbit di musim hujan itu bisa dibilang untung-untungan. Betul juga, tepat pada pukul 05.10 kendati matahari mulai muncul, sinarnya tertahan awan yang terus menggayut di atas Bromo. Toh ini tidak mengurangi keindahan gunung-gunung di kawasan Bromo yang mulai nampak di kejauhan. Keelokan ini tak berlangsung lama, kabut segera menyapu di atas Bromo.
Lebih baik naik kuda
Saya segera turun untuk mendaki G. Bromo. Dari padang pasir di kaki gunung puncak Bromo nampak tak begitu tinggi. Tapi begitu saya mulai mendaki anggapan saya meleset. Baru beberapa saat melangkahkan kaki napas sudah ngos-ngosan dan jantung berdetak kencang. Saya terpaksa sering berhenti. Menyesal rasanya menolak tawaran penarik kuda yang menawarkan jasa dengan ongkos Rp 7.500,- pulang-pergi. Setelah berusaha keras dan meniti 249 buah tangga sampailah saya di atas. Puas rasanya. Dari bibir kawah itu bisa dilihat pemandangan ke arah G. Bromo. Asap beraroma belerang keluar dari lubang di dasarnya. Bila arah angin tiba-tiba berubah, arah asap dengan bau belerang juga berubah mengikuti arah angin. Saya harus waspada karena kalau sampai terhirup kontan akan batuk-batuk. Sampai kini, G. Bromo adalah gunung yang masih aktif dan secara teratur mengeluarkan asap. Jarak dari Cemorolawang ke G. Bromo +2,5 km. Suhu tahunan berkisar antara 3 - 18oC dengan kelembaban 42 - 97%.
Bagi masyarakat Tengger G. Bromo dipercaya sebagai gunung suci. Mereka yang percaya selalu menjaga tindak-tanduk di kawasan ini. "Siapa saja tak boleh berpikiran buruk, apalagi buang air kecil menghadap gunung, bisa kualat," ujar Yun warga Cemoralawang. Itulah sebabnya pada akhir Oktober atau November masyarakat Tengger di kawasan Bromo tak lupa mengadakan upacara Kasada. Dengan aneka sesajian mereka berdoa di pura yang ada di kaki Bromo. Usai dimantrai sesajian itu dilempar ke kawah sebagai tanda penyerahan pada Kusuma, putra ke-25 dari Lara Anteng dan Jaka Seger sebagai cikal bakal masyarakat Tengger.
Kedekatan dengan G. Bromo ini membuat masyarakat Hindu di situ tak pernah gentar, pun tatkala gunung ini meletus beberapa tahun lalu. "Letusannya terdengar keras; jantung rasanya mau putus, tapi saya nggak takut dan malah ke sana untuk sesaji dan berdoa," tutur Yun. Terbukti, kawasan Bromo tak cuma menyimpan keindahan, tapi juga legenda. Inilah agaknya yang membuat eksotisme Taman Nasional Bromo - Tengger - Semeru layak ditengok.